Nusaperdana.com, China - Virus Corona awalnya berasal dari Wuhan, China. Kini malah menyebar ke seluruh dunia.
China seakan tak mau tanggung jawab akan hal ini karena mengurus Wuhan saja sudah kerepotan bukan main. Sampai akhirnya banyak korban berjatuhan sehingga pemerintah mengisolasi kota tersebut.
Akibat isolasi yang dilakukan ini, ada banyak kesulitan di alami warga asli Wuhan salah satunya soal makanan. Selain harganya yang terlampau tinggi, makanan yang tersedia pun banyak yang sudah basi.
Padahal risiko yang bisa didapatkan dari mengonsumsi makanan basi tersebut tentunya tak bisa dinggap sepele yaitu keracunan.
Seperti dilansir dari NHS bahwa makanan basi mengandung bakteri yang berbahaya bagi tubuh, salah satunya adalah Bacillus cereus yang dapat menyebabkan sakit, mengalami muntah bahkan diare sekitar 1 hingga 5 jam sesudahnya.
Meski gejalanya relatif ringan dan biasanya berlangsung sekitar 24 jam, namun tetap saja hal ini tidak baik bagi kesehatan tubuh.
Terlebih makanan basi yang di simpan dalam suhu ruangan, dimana itu lebih berisiko membahayakan tubuh. Walaupun makanan basi tersebut dimasak ulang atau dipanaskan kembali tidak ada dampak positifnya.
Sebab makanan sudah terkontaminasi dengan bakteri dan kotoran lainnya yang terbang bersama udara ruangan disekitar.
Selain dapat menyebabkan diare, keracunan makanan basi juga dapat menyebabkan kram perut, merasa lemah tidak bertenaga, merasa kedinginan, bahkan demam hingga melebihi 38° Celsius.
Kenestapaan warga wuhan pun diungkap dengan baik oleh laporan yang diberitakan AFP (28/2/2020).
Dimana seorang warga bernama David Dai yang berdomisili mengaku keadaan kota Wuhan saat ini sangat mengerikan.
"Di lingkungan tempat saya tinggal, kenyataannya benar-benar mengerikan," katanya.
Lebih lanjut, keluarga dari perempuan berusia 49 tahun ini harus benar-benar bergantung pada diri mereka sendiri.
Untuk stok bahan makanan, mereka telah mengeringkan dan menyimpan kulit lobak sebagai tambahan nutrisi di makanan
Meski kompleks apartemennya sudah memiliki kelompok pembelian, Dai mengatakan penduduk setempat tidak puas dengan harga dan kualitas makanan yang beredar.
"Banyak tomat, banyak bawang, mereka sudah busuk," katanya pada AFP. Dai juga mengatakan lebih dari sepertiga makanan harus dibuang karena tidak layak dikonsumsi.
Kelompok pembelian merupakan grup obrolan yang dibentuk untuk membeli makanan dan keperluan sehari-hari di Wuhan. Mereka melakukannya via aplikasi WeChat.
Di Wuhan, diberlakukan pembatasan untuk pengiriman barang-barang belanjaan dari supermarket, termasuk makanan.
Masing-masing supermarket memiliki harga dan ketentuan masing-masing, untuk paket pembelian barang dalam jumlah besar. Biasanya yang dibeli adalah daging, sayuran, susu, dan "mie kering panas" hidangan khas Wuhan.
Deretan supermarket itu juga ada yang punya aplikasi sendiri di WeChat, sehingga pengguna bisa memilih paket dengan harga berdasarkan berat, yang akan dikirim dalam jumlah besar.
Di daerah tempat tinggal Guo Jing misalnya, lima macam sayuran termasuk kentang dan bayi kol seberat 5,5 kilogram (kg), dibanderol 50 yuan (sekitar Rp102 ribu).
"Kamu tidak punya pilihan makanan. Kamu tidak punya keinginan pribadi lagi," keluh Guo dikutip dari AFP.
Selain minim pilihan, model pembelian kelompok seperti ini juga kurang mengakomodasi kelompok-kelompok kecil. Sebab, supermarket punya persyaratan minimum pesanan di setiap pengiriman.
"Sejujurnya, tidak ada yang bisa kita lakukan," kata Yang Nan, manajer supermarket Lao Cun Zhang, yang butuh minimal 30 pesanan di satu pengiriman.
"Kami cuma punya empat mobil," imbuhnya.
Yang menerangkan, tokonya tidak punya karyawan untuk melayani pesanan porsi kecil. Sementara supermarket lain yang ditelusuri AFP menyebutkan, mereka membatasi pengiriman maksimal 1.000 pesanan per hari.
"Sulit mempekerjakan karyawan baru," ujar Wang Xiuwen, yang bekerja di divisi logistik toko.
Dia menuturkan, mempekerjakan terlalu banyak orang bisa meningkatkan risiko terkena infeksi virus corona Covid-19.
Tak hanya sulit mendapat makanan dan barang-barang kebutuhan harian, derita warga Wuhan juga bertambah karena lingkungan tempat tinggal mereka bisa tiba-tiba ditutup aksesnya tanpa peringatan lebih dulu.
Diakui Guo Jing, wanita berusia 29 tahun warga setempat, mengatakan dia masih punya simpanan sayur, acar, dan telur asin untuk sebulan ke depan. Tapi yang membuatnya takut adalah penutupan dan pembatasan akses.
Di Wuhan, diberlakukan aturan pembatasan keluar dari kompleks. Warga hanya diizinkan keluar kompleks setiap tiga hari sekali.
Guo adalah salah satu dari 11 juta penduduk di Wuhan, kota di Provinsi Hubei Tengah yang telah dikarantina sejak 23 Januari sebagai upaya pemerintah menahan penyebaran virus epidemik Covid-19.
Sejak karantina diterapkan, kehidupan warga Wuhan dikontrol sangat ketat oleh pemerintah setempat.
AFP bahkan melaporkan, bulan ini ada peraturan baru yang melarang penduduk meninggalkan lingkungan mereka. Bagi sebagian orang, ini mengancam mata pencaharian mereka.
"Saya masih tidak tahu di mana harus membeli barang, dan setelah selesai makan apa yang masih kita miliki di rumah," ucap Pan Hongseng, yang tinggal bersama istri dan dua anaknya.
Nahasnya, Pan kesulitan membeli bahan makanan dan barang kebutuhan sehari-hari karena komunitas di tempat tinggalnya "tidak ada yang peduli" pada layanan pembelian kelompok.
"Anak saya yang berusia tiga tahun bahkan tidak memiliki susu bubuk tersisa," kata Pan kepada AFP.
Pan juga menceritakan dirinya tidak bisa mengirim obat ke dua mertuanya yang berusia 80-an tahun, karena mereka tinggal di tempat berbeda.
"Aku merasa seperti pengungsi," ucap Pan.
Sementara itu yang dialami Ma Chen, pria berusia 30 tahun yang hidup sendiri, sedikit berbeda.
"Aku tidak tahu berapa banyak (makanan) yang harus kubeli," ucapnya.