Menghidupkan Kembali Demokrasi Lokal: Saat Kritik Tak Lagi Dianggap Ancaman

Senin, 24 November 2025

Nusaperdana.com, Indragiri Hilir - Sebagai moderator dalam diskusi terbuka dengan tema : Program Sentra Hilirisasi Kelapa Nasional, Mengapa Bukan Inhil yang Mendapatkannya?” Sabtu (22/11/2025). 

Saya atas nama pribadi  ingin menyampaikan penghargaan yang tulus kepada Pemerintah Daerah melalui Asisten II Setda, Bapak Dwi Budianto, serta kepada Anggota DPRD, Bapak Yusuf Said.

Kehadiran mereka di tengah forum mahasiswa GMNI — forum yang sejak dulu terkenal kritis dan tidak pernah sungkan mempertajam setiap argumen — bagi saya bukan langkah kecil. Itu langkah berani. Dan di masa sekarang, keberanian pejabat publik untuk masuk ke ruang kritik itu sangat langka.

 

Mengapa saya menekankan hal ini?

Karena demokrasi tidak bisa hidup hanya dari pidato, baliho, atau akun resmi pemerintah. Demokrasi hanya tumbuh ketika pemerintah dan masyarakat berani saling menatap langsung, berbicara apa adanya, dan menguji argumen tanpa takut berbeda.

Hari ini ruang publik kita penuh kabut. Informasi yang viral sering dianggap kebenaran, padahal banyak yang jauh dari kondisi lapangan. Opini bergerak lebih cepat dari data, dan itu membuat nalar kritis pemuda kita sering tersandung oleh persepsi yang tidak lengkap. Bukan salah mereka. Akses informasinya memang kalah dari konten sensasional.

Di sisi lain, banyak masyarakat yang sebenarnya ingin bersuara, tapi memilih diam. Ada yang ragu, ada yang takut disalahpahami, ada yang merasa kritiknya pasti mentok di dinding tebal birokrasi. Dan kita harus jujur, pemerintah pun sering terkesan menjaga jarak dari kelompok-kelompok kritis.

Karena itu, ketika pejabat publik hadir di forum GMNI, saya melihatnya sebagai sebuah sinyal penting:
bahwa ruang dialog mungkin sedang pulih.
Bahwa pemerintah tidak lagi melihat kritik sebagai serangan pribadi, tetapi sebagai bahan bakar untuk memperbaiki kebijakan.

Saya mengapresiasi itu. Sungguh.

Dan saya juga berharap, setiap isu strategis daerah — apalagi yang akan melahirkan kebijakan — berani dibuka di hadapan publik. Jangan takut terhadap perdebatan. Jangan alergi terhadap pertanyaan sulit. Kebijakan yang tidak diuji biasanya yang paling rapuh.

Kita pun harus ingat:
Ketika komunikasi antara civil society dan pemerintah tersumbat, sejarah selalu memberi pelajaran bahwa tekanan sosial pasti mencari jalannya sendiri. Entah kita mau atau tidak.

Apalagi sekarang, dengan kondisi fiskal daerah yang sedang tidak baik-baik saja, kita semua — pemerintah, aktivis, masyarakat — perlu suasana yang lebih jujur dan dewasa. Kita tidak sedang punya ruang untuk saling curiga. Kita perlu kolaborasi, keterbukaan, dan sikap tenang dalam menghadapi gejolak.

 

Kepemimpinan baru Bupati Herman punya tugas yang berat. Dan tugas itu tidak mungkin sukses tanpa demokrasi yang sehat, tanpa kritik yang jernih, tanpa ruang dialog seperti yang kita lakukan kemarin. Ruang-ruang semacam ini tidak hanya penting, tapi wajib.

Karena itu, terima kasih saya kepada kedua narasumber bukan basa-basi. Ini bentuk penghormatan kepada orang-orang yang mau bertemu kritik secara langsung, mau mendengar, dan mau berdiskusi tanpa baju formalitas yang berlebihan. Secara khusus, saya juga menghargai langkah Bupati yang membuka ruang dialektika seperti ini — ruang yang kita butuhkan untuk menjaga tradisi literasi dan nalar publik tetap hidup.

Semoga forum ini bukan yang terakhir.
Semoga ini menjadi awal budaya baru: budaya dialog, bukan monolog.

Hormat saya,
Boboy (Saipudin Ikhwan, S.I.Kom., M.A.)