Nusaperdana.com - Pandemi Covid-19 terus membawa dampak pada kinerja ekspor impor RI. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang April 2020 mengalami defisit hingga 350 juta dolar AS.
Angka itu lebih baik jika dibangdingkan dengan April 2019 yang tercatat defisit 2,3 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, defisit April tahun ini dipicu angka ekspor yang lebih kecil dibanding impor. Adapun angka ekspor April 2020 mencapai 12,19 miliar dolar AS sedangkan impor sebesar 12,5 miliar dolar AS.
"Kalau kita gabungkan ekspor dan impor April 2020 sehingga pada April 2020 defisit mengalami 350 juta dolar AS. Defisit ini jauh lebih landai dibandingkan April 2019," ujarnya dalam video conference di Jakarta, kemarin (15/5).
Suhariyanto merinci, penurunan ekspor terjadi pada seluruh sektor, baik migas maupun nonmigas. Ekspor migas menurun 6,55 persen dari 650 juta dolar AS menjadi 610 juta dolar AS (mtm).
Sementara ekspor non migas jatuh lebih dalam. Sebab, jika dibandingkan Maret 2020, penurunan mencapai 13,66 persen dari 13,42 miliar dolar AS menjadi 11,58 miliar dolar AS (mtm).
Penurunan paling dalam terjadi pada ekspor tambang yang mencapai 21,11 persen. Sementara ekspor industri pengolahan dan pertanian turun masing-masing 12,26 persen dan 9,82 persen.
"Penurunan ekspor industri pengolahan terjadi pada komoditas kendaraan roda empat atau lebih, pakaian jadi, kimia dasar organik. Ini karena pelemahan permintaan sehingga volume menurun," kata dia.
Untuk kinerja impor April 2020, tercatat penurunan tajam pada impor migas hingga 46,83 persen dibanding Maret.
Jika dilihat dari penggunaan barang, impor barang konsumsi maupun barang baku tercatat turun. Namun, impor barang modal naik 9 persen dibandingkan Maret.
Penurunan impor barang konsumsi antara lain terjadi pada buah-buahan dari Cina. Sedangkan kenaikan impor barang modal didorong oleh processing unit komputer dan jaringan telepon seluler.
"Komposisi penurunan impor perlu diperhatikan dan waspadai. Ini karena kalau impor bahan baku pengaruh ke pertumbuhan industri dan perdagangan, kalau impor barang modal pengaruh ke komponen investasi di pertumbuhan ekonomi," tegasnya.
Defisit neraca perdagangan juga dialami di daerah, salah satunya Jawa Timur (Jatim). Pada April lalu, neraca perdagangan Jatim deficit 441,02 juta dolar AS.
Secara kumulatif pun, sejak Januari hingga April neraca perdagangan Jatim juga deficit, yakni senilai 95,88 juta dolar AS.
Nilai ekspor Jatim pada April 2020 tercatat senilai 1,37 miliar dolar AS, turun sebesar 12,85 persen dibandingkan ekspor pada periode yang sama tahun lalu.
Sedangkan nilai impor pada April 2020 tercatat senilai dolar AS mencapai 1,81 miliar dolar AS. Angka tersebut turun sebesar 17,46 persen dibandingkan April 2019.
"Penurunan ekspor lebih besar dibanding impor," kata Kepala BPS Jatim Dadang Hardiwan.
Kondisi pandemi turut memengaruhi demand dan supply side sehingga arus perdagangan internasional pun terpengaruh. Perubahan ini terjadi baik pada perdagangan migas maupun komoditas nonmigas.
Menjelang Idulfitri, impor barang konsumsi cenderung stagnan. Impor barang konsumsi hanya tumbuh 0,90 persen secara year on year (yoy) menjadi 200,91 juta dolar AS. Impor sayur-sayuran, bawang putih, apel dan jeruk mandarin cenderung meningkat.
Di sisi lain, impor bahan baku masker dan alat pelindung diri (APD) naik.
"Namun impor obat dan vitamin cenderung turun," imbuh Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Jatim Satriyo Wibowo.
Secara umum, impor alat kesehatan pada April tercatat senilai 15,77 juta dolar AS, naik dibanding impor pada Maret yang senilai 14,99 juta dolar AS.
Terpisah, Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menuturkan, penurunan ekspor mengindikasikan sebuah kondisi yakni tren ekspor yang telah berubah secara struktur. Produk pertanian disebutnya masih mencatat hasil yang positif.
Selain itu, Wisnu menyebut apabila kondisi eksternal berangsur stabil, ada kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral.
"Namun proyeksi kami bulan ini suku bunga masih tetap (belum dipangkas)," jelasnya.
Seperti diketahui, penurunan suku bunga acuan diyakini bisa memperbaiki neraca perdagangan agar dapat menstimulasi sektor riil.
Suku bunga acuan yang tinggi akan membuat eksporter tertekan karena biaya produksi meningkat sementara permintaan global cenderung melemah.