Ombudsman: Ada Potensi Maladministrasi, Tunda Keputusan Impor Beras

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika. Sumber Foto: Detik.com

Nusaperdana.com, Jakarta - Pemerintah mewacanakan impor 1 juta ton beras. Ombudsman RI menyoroti ada potensi maladministrasi dalam keputusan impor beras.

"Ombudsman mencermati adanya potensi maladministrasi terkait mekanisme keputusan impor beras," kata anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers yang disiarkan melalui akun YouTube Ombudsman RI, Rabu (24/3/2021).

Adapun potensi maladministrasi itu Ombudsman menilai tidak ada indikator yang mengharuskan pemerintah memutuskan impor beras. Sebab, ditinjau dari data BPS, justru produksi beras diperkirakan surplus pada saat musim panen raya.

"Saya kalau ditanya sekarang belum tahu karena kita mencium adanya potensi maladministrasi itu karena polemik terjadi, karena beberapa indikasi, seperti produksi kita nggak ada masalah, stok beras di masyarakat tidak ada masalah, stok beras di tingkat penggilingan pelaku usaha juga tidak ada masalah, sehingga kami melihat jangan jangan ada yang salah dalam memutuskan ini," ujar Yeka.

"Indikasinya maladministrasi itu terjadi karena polemik seperti ini. Kami merasa aneh karena indikator-indikator terhadap perlunya impor itu justru kami menilai tidak harus ada keputusan impor kalau melihat data BPS, stok yang ada di masyarakat, stabilnya kita kemarin 2019, 2020. Nah, kalau ada kekhawatiran terkait stok yang ada di Bulog, ini perlu kami dalami apakah betul stok di Bulog kurang dari 1 juta itu masalah," ungkapnya.

Lebih lanjut, Yeka mengatakan pada Maret 2018, stok beras sekitar 600 ribu ton, sehingga tidak ada masalah. Ombudsman akan meneliti apakah ada maladministrasi atau tidak ditinjau dari mekanisme pengambil keputusan impor dalam rakortas.

"Pertama terkait potensi maladministrasi dalam mekanisme keputusan impor beras. Jadi yang akan kami dalami itu adalah bagaimana sebetulnya mekanisme rakortas dalam penentuan importasi beras ini," imbuhnya.

Lebih lanjut, Ombudsman RI menilai perlunya mencermati potensi administrasi dan alternatif tindakan korektif yang akan didorong Ombudsman. Misalnya Ombudsman mendorong perlunya early warning system dalam menentukan keputusan impor beras berbasis saintifik dan berbasis evidence, serta mekanisme pengambilan keputusan yang cermat dan hati-hati.

"Kalau keputusan seperti impor beras ini benar-benar harus berbasiskan data yang valid. Beras ini bukan hanya komoditas, tapi juga dia memiliki dampak sosial politik yang luas. Oleh karena itu, suka-tidak suka, kebijakan impor beras ini harus dipahami semua orang," ungkapnya.

Lebih lanjut Ombudsman juga menilai ada potensi maladministrasi dalam manajemen stok beras. Oleh karena itu, Ombudsman akan melakukan inisiatif atas prakarsa sendiri untuk mencegah adanya potensi maladministrasi.

"Jadi kami akan melakukan inisiatif atas prakarsa sendiri dalam rangka pencegahan mal administrasi dalam tata kelola importasi dan stok beras," ujarnya.

Yeka menambahkan, dalam seminggu ke depan, Ombudsman akan mengumpulkan beberapa informasi dari institusi terkait. Ombudsman akan menyurati institusi terkait untuk dimintai keterangannya dan selanjutnya Ombudsman akan dalami ke lapangan.

"Tentu kita akan minta turun ke lapangan untuk melihat sejauh mana pelaksanaan BPMT dan pelaksanaan hal terkait lainnya. Intinya, kita ingin lihat kebijakan importasi ini dalam perspektif hulu dan hilir dan selanjutnya kita akan mendalami untuk memperkuat data data yang ada," ungkapnya.

Berikut ini rekomendasi Ombudsman RI:

1. Meminta Kementerian Perekonomian melaksanakan rakortas menunda keputusan impor hingga menunggu perkembangan panen dan pengadaan Perum Bulog paling tidak sampai awal Mei.

"Jadi kami meminta agar Kementerian Perekonomian menyelenggarakan rakortas untuk menunda keputusan impor, bukan menunda pelaksanaan impornya, menunda keputusan impornya hingga menunggu perkembangan panen dan pengadaan Perum Bulog," ujarnya.

2. Meminta Perum Bulog untuk meningkatkan serapan dalam negeri.

3. Mengimbau kepada pengusaha penggilingan untuk mempercepat giling gabah dan memastikan kualitas sesuai kualitas persyaratan pengadaan perum Bulog agar Bulog terbantu dalam pengadaannya dan penyerapannya.

4. Meminta kepada pedagang untuk tidak melakukan upaya spekulasi dalam masa tunggu, itu karena kita tunggu sampai musim panen. Jadi jangan ada spekulasi karena pemerintah bisa sewaktu-waktu mengambil keputusan alternatif.

5. Ombudsman mencermati adanya potensi mal administrasi terkait mekanisme keputusan impor beras. Terkait mekanisme keputusan impor beras ini Ombudsman mencermati adanya potensi mal administrasi. Alternatif tindakan korektif yang nanti akan di dorong Ombudsman adalah perlunya early warning system dalam menentukan keputusan impor beras berbasis scientific dan berbasis evidence, serta mekanisme pengambilan keputusan yang cermat dan hati hati jangan grusa-grusu.

6. Ombudsman juga mencermati adanya potensi maladministrasi dalam manajemen stok beras. Akibat kebijakan yang tidak terintegrasi dari hulu hilir.

"Hulu-hilirnya bermasalah, kebijakannya tidak terintegrasi jadi ada bottle neck di situ sehingga indikatornya apa beras terlanjur turun terjadi dan itu kerugiannya besar sekali. Termasuk di dalamnya terkait pelaksanaan bantuan pangan tunai," imbuh Yeka.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi sudah menjelaskan perihal wacana impor 1 juta ton beras. Ia menjelaskan niatnya bukan menghancurkan harga di petani, tapi ingin menjaga harga beras di pasaran, sebab ada kekhawatiran, Perum Bulog bakal kesulitan memenuhi target cadangan beras 1-1,5 juta ton setahun mengingat masa panen raya kali ini masih sering diselingi musim hujan, membuat banyak gabah basah. Akhirnya tidak bisa disimpan jadi cadangan di Perum Bulog.

"Saya ingin pastikan hari ini belum ada impor, tidak akan menghancurkan harga beras petani dan saya jamin tidak ada niatan pemerintah hancurkan harga petani. Yang ada sekarang gabah basah, gabah nggak bisa dibeli Bulog, petani berhadapan dengan pedagang, itu yang terjadi," Lutfi dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3).

Lutfi mengungkapkan stok beras di Perum Bulog saat ini masih jauh dari kata ideal. Saat ini, menurut Lutfi, stok beras di Perum Bulog tak mencapai 500 ribu ton. Padahal, seharusnya di Perum Bulog itu tersedia stok antara 1-1,5 juta ton beras setiap tahunnya.

"Stok Bulog kurang dari 1 juta ton. Menurut Dirut Bulog, ada beras impor 2018 yang sudah turun mutu. Menurut hitungan saya, yang turun mutu dari 2018 itu kira-kira 270 ribu ton jumlahnya. Jadi yang sudah dikatakan turun mutu itu 160 ribu ton, jadi ada 120 ribu ton lagi. Jadi stok akhir Bulog yang kira-kira 800 ribu ton dikurangi dengan stok impor 2018 yang 300 ribu, jadi stok Bulog hanya mungkin tidak mencapai 500 ribu ton. Ini adalah salah satu kondisi stok terendah dalam sejarah Bulog. Jadi Anda tahu bagaimana rasa hati saya ngilunya," katanya.

Sampai saat ini pun, Bulog baru mampu menyerap sekitar 85 ribu ton beras dari hasil panen raya. Padahal seharusnya, Bulog harus bisa menyetok 400-500 ribu ton beras hari ini. Hal inilah yang kemudian jadi pertimbangan untuk impor beras yang belakangan heboh diperdebatkan publik.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar