Abdul Wahid Sebut UU Omnibus Law Menguntungkan Petani

Abdul Wahid. Sumber Foto: Hallo.id

Nusaperdana.com, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), H Abdul Wahid mengungkapkan bahwa keberadaan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja akan menguntungkan petani, khususnya petani kelapa sawit.

Anggota Badan Legislasi DPR RI ini menuturkan, dalam Klaster Sumber daya UU Ciptaker, keterlanjuran kebun kelapa sawit yang berada dalam klaim kawasan hutan, baik itu Hutan Produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) akan dibebaskan dari klaim kawasan hutan. 

"Karena sudah terlanjur digarap ya harus ada solusi, jika petani yang menggarap maksimal 5 ha, ya tinggal dilaporkan, bisa disertifikatkan, tetapi tidak boleh jual. Jika yang menggarap perusahaan denda berlaku 5-15 juta/ha, izin boleh dilanjutkan dan ada pajak untuk daerah juga," jelas politisi muda ini kepada awak media, Jumat (9/10/2020) melalui keterangan tertulis.

Lebih lanjut, diungkapkan Wahid, jika kebun kelapa sawit itu berada di klaim kawasan hutan lindung dan konservasi, pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur.

"Untuk yang terlanjur menggarap di kawasan Hutan Lindung dan konservasi di toleransi selama satu daur masa tanam, setelah itu harus dikembalikan ke Negara, untuk perusahaan tetap berlaku denda," ujar pria asal Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).

Menurut Wahid, solusi bagi kebun perorangan yang tumpang tindih dengan konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU) adalah luas HGU atau Konsesinya yang dikurangi, bukan petani kelapa sawitnya yang diusir.

"Nah, bagi lahan HGU yang tumpang tindih, konsesi HGU yang dikurangi. Sebab, enggak mungkin kelapa sawit itu ditebangi, semuanya harus saling azas manfaat. Perkiraan kita, negara akan mendapatkan dana sekitar Rp250 triliun dari hasil pembayaran itu dan yang paling penting lagi, semua pekebun mendapat kepastian hukum," katanya.

Selama ini, dikatakan Wahid, pihak yang diuntungkan atas klaim kawasan hutan itu, justru hanya para oknum yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan sisi abu-abu ketidakpastian hukum persoalan tersebut.

"Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti Riau kecil dari sektor kebun kelapa sawit, karena klaim kawasan hutan tumpang tindih tadilah. Sementara, di sisi lain, sejumlah oknum yang kenyang," katanya.

Masih soal kelapa sawit, Wahid menyebut bahwa perusahaan yang didapat dari pemerintah, wajib membuat kebun pola kemitraan 20 persen. Untuk lahan yang dibeli sendiri dan kemudian diurus Izin Usaha Perkebunan atau IUP-nya, kemitraan tetap harus ada, tapi lahan untuk kemitraan itu bersumber dari lahan masyarakat yang akan menjadi mitra.

"UU ini jadi semacam karpet merah, penuh dengan kepastian hukum bagi investasi. Mudah-mudahan dengan adanya UU ini, investasi yang masuk ke Indonesia akan melonjak," kata ketua PKB Riau ini.

Alasannya, dikatakan Wahid, adalah kemudahan yang 'ditawarkan' melalui UU Ciptaker, seperti proses pengurusan izin yang tidak perlu bertemu dengan orang.

"Aturan semacam ini tentu akan menyebabkan birokrasi yang koruptif akan tidak zona nyamannya," lanjutnya.

Selama ini, Wahid tidak menyangkal, bahwa investasi tidak tumbuh dari ketidakpastian hukum, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan. Regulasi yang tumpang tindih. Keadaan semacam ini jugalah, imbuh Wahid, yang membuat angkatan kerja di Indonesia menjadi tinggi, banyak yang akhirnya cari kerja di luar Negeri.

“Tapi Insya Allah dengan adanya UU ini, investasi semakin tumbuh dan tenaga kerja terserap,” dia mengatur harapan itu.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar