Kemarahan Jokowi ketika RI jadi Sasaran Mafia Migas Rp 1 Triliun Perbulan
Nusaperdana.com, Jakarta - Dua bulan terakhir, Presiden Joko Widodo tak henti menyinggung dan mengancam siapapun yang membuat RI tak berhenti impor minyak.
Jokowi mengklaim sudah tahu siapa saja oknum yang ada di belakang impor tersebut.
Ia meyakini, di balik impor 800 ribu barel sehari minyak mentah dan BBM, ada pihak-pihak yang mengeruk untung besar. Ini juga salah satu sebab RI susah bangun kilang dalam 30 tahun terakhir.
"Saya cari, sudah ketemu siapa yang seneng impor sudah mengerti saya. Saya ingatkan bolak balik kamu hati-hati, saya ikuti kamu, jangan halangi orang ingin membikin batu bara jadi gas. Gara gara kamu senang impor gas. Kalau ini bisa dibikin sudah nggak ada impor gas lagi. Saya kerja apa Pak? Ya terserah kamu. Kamu sudah lama menikmati ini," tutur Jokowi dalam acara pembukaan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019) kemarin.
Salah satu anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang pernah dibentuk Presiden Jokowi di 2014-2015 lalu, Fahmy Radhi, mengungkap tim menemukan bahwa para mafia pemburu rente impor minyak ini memperoleh US$ 2-3 barel per hari.
"Mereka berburu rente pada impor crude oil dan BBM, sehari peroleh US$ 2 sampai US$ 3 barel per hari," kata Fahmy ketika dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (17/12/2019) kemarin.
Jika dihitung, sehari Indonesia mengimpor sebanyak 800 ribu barel berupa produk BBM dan minyak mentah.
Artinya, mafia-mafia itu mendapatkan sekitar US$ 2,4 juta sehari atau setara dengan Rp 33,6 miliar per hari dari impor minyak Indonesia. Adapun dalam sebulan keuntungannya mencapai sekitar Rp 1 triliun.
Fahmy menjelaskan, perburuan rente ini dilakukan melalui bidding dan blending, yang dilakukan oleh Petral di Singapura saat itu.
"Memang bidding Petral dilakukan secara on line. Tetapi anehnya, beberapa NOC pemenang bidding dari negara bukan penghasil Minyak, antara lain: Italia, Vietnam, dan Maldives," jelasnya.
NOC atau perusahaan migas nasional itu hanya digunakan sebagai bendera untuk memasok minyak impor ke Petral, yang pemasok sebenarnya perusahaan trading yang beroperasi di Singapura milik warga negara Indonesia.
Tim juga pernah mengungkap soal kontrak minyak yang didapatkan para mafia ini selama 2012 hingga 2014 lalu.
Dalam 3 tahun, jaringan mafia migas ini menguasai kontrak jual beli minyak senilai US$ 18 miliar atau setara Rp 250 triliun.
Meskipun Petral sudah bubar, menurut beberapa pejabat ulah importir minyak ini belum berhenti.
Salah satunya diungkap oleh Wakil Presiden RI 2014-2019 Jusuf Kalla, menurutnya salah satu penyebabnya adalah karena ada lobi-lobi importir minyak.
"Ada lobi-lobi importir minyak, tujuannya agar kita impor terus," ujar Jusuf Kalla, saat dijumpai di kantor CNBC Indonesia, Rabu (11/12/2019) kemarin.
Ia menuturkan, kilang terakhir yang dibangun Indonesia adalah kilang Balongan pada 1995. Sejak saat itu, memang susah sekali membangun kilang di negeri ini.
Selain ulah importir minyak yang mengganggu, ada juga permasalahan lainnya yang membuat pembangunan kilang ini terhambat.
"Dana juga masalah, tapi yang paling penting itu ya tekadnya untuk selesaikan itu. Mafia-mafia impor itu memang susah," katanya.**
Berita Lainnya
Jumlah Pasien Sembuh 607, Makin Jauh Lampaui Korban Meninggal akibat Corona
Pertamina Sebut Konsumsi BBM Selama PSBB Transisi Meningkat
Sinergi Kemenhub dan KKP Dalam Percepatan Layanan Izin Usaha Perikanan
Nurhadi Akhirnya Ditangkap KPK
KKP Bebaskan Nelayan Indonesia yang Ditangkap Aparat Malaysia
Pemerintah Segera Transfer Bantuan Subsidi Upah Langsung Kerekening Penerima
KKP Dorong Kenaikan Nilai Ekspor Hasil Perikanan Tersertifikasi
Sholat Jumat Diganti Dzuhur Karena Virus Corona, Bagaimana Hukumnya?