Pembaruan Hukum Pidana Responsif dalam Sudut Pandang Delik Pidana

Markoni Efendi

Markoni Efendi (markoni.efendi@gmail.com)

Pembaruan hukum pidana di Indonesia merupakan respons terhadap berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang telah mempengaruhi dinamika masyarakat. Dalam konteks delik pidana, pembaruan hukum pidana responsif bertujuan untuk menciptakan aturan yang lebih relevan, adil, dan mampu menanggapi tuntutan zaman. Artikel ini akan menguraikan konsep pembaruan hukum pidana responsif dan penerapannya dalam penanganan delik pidana.

Soedarto mendefinisikan hukum pidana sebagai aturan hukum yang memberikan konsekuensi berupa pidana pada suatu perbuatan yang memenuhi kriteria tertentu. Simons, di sisi lain memberikan definisi hukum pidana dalam tiga aspek, yaitu:

1. Sekumpulan larangan atau perintah yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi berupa penderitaan (pidana) oleh negara.

2. Kumpulan peraturan yang mengatur syarat-syarat untuk penjatuhan pidana.

3. Kumpulan ketentuan yang menjadi dasar dalam penjatuhan dan penerapan pidana.

Dengan demikian, hukum pidana materiil dapat dipahami sebagai ketentuan hukum yang menetapkan perbuatan terlarang dan ancaman sanksi bagi pelanggarannya. Banyak ahli menyatakan bahwa hukum pidana memiliki posisi khusus dalam sistem hukum, karena hukum pidana tidak menetapkan norma baru, tetapi memperkuat norma dari bidang hukum lain dengan menentukan sanksi bagi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut.

A. Konsep Hukum Pidana Responsif

Hukum pidana responsif adalah pendekatan dalam pembentukan peraturan yang mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat secara dinamis. Dalam pendekatan ini, hukum pidana tidak hanya berfungsi sebagai alat penegakan norma, tetapi juga sebagai instrumen untuk mencapai keadilan sosial dan mendorong kepatuhan masyarakat terhadap aturan hukum.

1. Karakteristik Hukum Pidana Responsif

Hukum pidana responsif memiliki beberapa karakteristik utama, antara lain:

a. Adaptif Terhadap Perubahan SosialHukum pidana diharapkan mampu menyesuaikan dengan perubahan sosial, khususnya yang terkait dengan jenis-jenis kejahatan baru akibat perkembangan teknologi, seperti cybercrime dan kejahatan ekonomi.

b. Mengedepankan Keadilan Restoratif: Pendekatan hukum pidana responsif juga mencakup aspek keadilan restoratif, yaitu mengutamakan pemulihan kerugian korban daripada sekadar hukuman bagi pelaku.

c. Partisipasi Masyarakat: Masyarakat diberikan ruang untuk terlibat dalam proses pembentukan hukum pidana, khususnya dalam memberikan masukan terkait pengaturan delik yang ada.

B. Pembaruan dalam Delik Pidana

Delik pidana, sebagai tindak perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidana, menjadi fokus utama dalam pembaruan hukum pidana responsif. Perubahan yang dilakukan mencakup beberapa aspek, yaitu definisi delik, jenis hukuman, dan prosedur hukum yang lebih ramah korban.

1. Definisi dan Penggolongan Delik Pembaruan hukum pidana perlu menyesuaikan penggolongan delik agar mencakup jenis kejahatan baru, seperti:

a. Kejahatan Siber (Cybercrime), Termasuk pencurian identitas, peretasan, dan penipuan online, yang memerlukan pengaturan spesifik dalam delik pidana modern.

b. Kejahatan Lingkungan

Kejahatan terkait perusakan lingkungan juga membutuhkan pendekatan hukum yang komprehensif, mengingat dampaknya yang besar terhadap masyarakat luas.

c. Kejahatan Ekonomi

Delik ekonomi yang melibatkan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan kejahatan terkait keuangan membutuhkan pembaruan hukum yang mampu menangani kompleksitas transaksionalnya.

2. Pengembangan Jenis Hukuman

Hukum pidana responsif juga mengedepankan diversifikasi hukuman. Di samping pidana penjara, ada berbagai alternatif lain, seperti pidana sosial, pidana denda, atau kerja sosial. Tujuannya adalah agar hukuman yang dijatuhkan tidak hanya bersifat retributif, tetapi juga mendidik dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.

3. Prosedur Hukum yang Lebih Progresif Prosedur hukum pidana harus lebih adaptif, termasuk penguatan Keadilan Restoratif, Fokus pada pemulihan kerugian yang dialami korban, sehingga pelaku dapat bertanggung jawab secara langsung kepada korban. Diversi bagi Pelanggar Anak yang terlibat dalam tindak pidana perlu mendapatkan pendekatan khusus, seperti program rehabilitasi, agar tidak jatuh dalam lingkaran kriminalitas.

C. Urgensi Pembaruan Hukum Pidana

Upaya pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari ranah politik hukum pidana. Secara politis dan kultural, penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia dinilai kurang relevan dan tidak dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan. Meskipun berbagai perubahan dan penyesuaian telah dilakukan terhadap KUHP, hal ini belum dapat disebut sebagai pembaruan hukum pidana dalam arti yang sebenarnya, apalagi dengan karakter nasional yang kuat. Hal ini karena sekadar mengganti Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan KUHP sebagai produk bangsa Indonesia sendiri tidak cukup. Pembaruan hukum pidana perlu menyentuh aspek filosofis, yaitu perubahan orientasi terhadap asas-asas dan nilai-nilai yang mendasarinya.

Urgensi perubahan KUHP didorong oleh pertimbangan politis, praktis, dan sosiologis. Dari segi politis, sebagai negara merdeka, wajar bila Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional. Ini adalah tugas pembentuk undang-undang untuk menggantikan peraturan warisan kolonial dengan dasar Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi. Alasan praktisnya, semakin sedikitnya ahli hukum Indonesia yang memahami bahasa Belanda dan asas hukumnya, menjadi alasan penting untuk menyesuaikan KUHP. Dari sisi sosiologis, KUHP seharusnya mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, sedangkan WvS belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Muladi menambahkan bahwa pembaruan hukum pidana perlu dilakukan agar hukum pidana mampu beradaptasi dengan perubahan cepat dalam interaksi sosial masyarakat. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya alasan kultural, mengingat sistem hukum suatu negara mencerminkan budaya bangsanya. Pembaruan hukum pidana juga didasari alasan ideologis, yaitu bahwa hukum pidana harus selaras dengan ideologi Indonesia, yaitu Pancasila. Pandangan ini sejalan dengan teori Robert B. Seidman tentang the law of nontransferability of law, yang menyatakan bahwa hukum suatu negara tidak bisa diterapkan begitu saja di negara lain karena perbedaan karakter budaya.

Perlu dipahami bahwa peraturan perundang-undangan yang dirancang untuk menjamin kepastian hukum sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Aspirasi masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan kadang sulit diwujudkan dalam Sistem Peradilan Pidana. Demikian pula, tujuan akhir dari proses hukum, yaitu kemanfaatan (utility), menjadi sulit tercapai, karena Sistem Peradilan Pidana yang semestinya berfungsi sebagai sistem sosial terpadu tidak selalu mampu memberikan manfaat yang utuh bagi masyarakat.

Di sisi lain terdapat kenyataan yang memprihatinkan, seperti pada kasus tindak pidana yang mengakibatkan kerugian materiil di mana kepentingan korban sering kali tidak diperhatikan. Begitu pula dalam kasus pembunuhan atau pemerkosaan, hukuman berat terhadap pelaku kerap dianggap belum memadai untuk memberikan efek pencegahan atau perlindungan bagi korban dan masyarakat. Efek pencegahan umum (general prevention) yang diharapkan pun seringkali tidak tercapai. Sebaliknya, kecenderungan residivisme (special prevention) menjadi risiko yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat penghukuman terhadap pelaku.

Seperti dijelaskan sebelumnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku hingga kini adalah warisan kolonial dengan landasan individualisme. Hal ini menyebabkan asas legalitas, yang sejatinya berfungsi untuk melindungi hak individu, sering kali memberikan dampak negatif dalam penegakan hukum. Sejatinya, tujuan utama dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, dan hal ini seharusnya menjadi tujuan akhir dari setiap proses hukum. Namun, demi kepastian hukum, keadilan sering kali dikorbankan.

D. Implementasi Hukum Pidana Responsif dalam Praktik

Beberapa negara telah menerapkan konsep hukum pidana responsif sebagai bagian dari reformasi sistem peradilan pidana. Contohnya adalah penerapan restorative justice dalam menangani kejahatan ringan atau kejahatan yang melibatkan anak. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi salah satu contoh konkret dari upaya hukum pidana responsif.

Tantangan Pembaruan Hukum Pidana Responsif, Meskipun memiliki banyak kelebihan, penerapan hukum pidana responsif di Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan:Infrastruktur Hukum yang Kurang Memadai: Implementasi hukum pidana yang responsif membutuhkan sistem peradilan dan lembaga pendukung yang memadai.Perlunya Pelatihan dan Pendidikan Aparat Hukum: Aparat hukum harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsep keadilan restoratif dan cara-cara menangani kasus dengan pendekatan yang lebih humanis.Konsistensi Penegakan Hukum: Konsistensi dalam penerapan hukum juga menjadi hal yang penting agar tidak terjadi ketidakadilan atau perbedaan dalam perlakuan hukum terhadap kasus yang serupa.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar