Tahukah Kamu Kenapa Rupiah Mampu Bertahan di Tengah Kontraksi Ekonomi?


Nusaperdana.com - Di tengah tekanan resesi ekonomi yang melanda beberapa negara seperti Singapura, Jerman, Hongkong dan yang lainnya akibat virus corona (Covid-19), rupiah lumayan mampu bertahan meski pertumbuhan ekonomi Indonesia minus.

Ekonom Indef, Eko Listiyanto, menyebut, nilai tukar rupiah tak keok di tengah kontraksi ekonomi.

Bahkan, rupiah sempat menguat 0,51 persen ke posisi Rp14.550 per dolar AS pada saat rilis data pertumbuhan ekonomi terkontraksi Rabu (5/8/2020) lalu.

Menurut dia, kenaikan tersebut disebabkan pasar telah memprediksi ekonomi bakal minus. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen secara tahunan pada kuartal II, dan minus 1,26 persen pada semester I 2020.

"Kenapa sektor keuangan lebih adem? Karena memang sudah diprediksi ekonomi kuartal II negatif, hanya nilainya saja yang masih beda-beda," jelasnya, dalam diskusi virtual Indef, Kamis (6/8/2020).

Selain itu, Eko menilai Indonesia masih memiliki kecukupan cadangan devisa (cadev). Bank Indonesia (BI) mencatat cadev pada akhir Juni 2020 sebesar US$131,7 miliar.

Posisi cadangan devisa naik US$1,2 miliar dibandingkan Mei sebesar US$130,5 miliar.

Posisi cadev ini berbeda saat tekanan ekonomi pada krisis 1998 silam. Kala itu, cadev hanya sebesar US$14,44 miliar, sehingga rupiah meluncur hingga ke posisi Rp17 ribu per dolar AS.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi saat itu mencapai negatif dua digit, yakni minus 13,13 persen.

"Mungkin, kemarin juga dilakukan intervensi oleh BI. Upaya itu dilakukan oleh BI karena punya cadev yang lebih tinggi," imbuhnya.

Di samping itu, ia menilai suku bunga Indonesia masih menarik di mata investor asing. Suku bunga acuan BI sebesar 4 persen pada Juli.  

"Tetapi, kalau pertumbuhan ekonomi terus merosot image (citra, red), sektor keuangan juga akan terseret," tuturnya.

Usai menguat, mata uang Garuda melemah 0,24 persen menjadi Rp14.585 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Kamis sore. Namun, depresiasi ini ditengarai karena kekhawatiran memanasnya tensi AS-Cina, bukan karena kontraksi pertumbuhan ekonomi.

"Pergerakan mata uang di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia  kembali dilanda kekhawatiran ketegangan hubungan AS-Cina," jelas Kepala Riset Monex Investindo Ariston Tjendra.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar