6 Rumah Ibadah Berdampingan, Rukunnya Warga Surabaya


Nusaperdana.com, Surabaya - Hidup rukun berdampingan tentu menjadi dambaan setiap warga. Apalagi, di tengah perbedaan keyakinan, umat yang ada mampu menyelaraskan kehidupan bertetangga yang cukup harmonis.

Hal ini lah yang tercermin dari kehidupan rukun tetangga di Perumahan Royal Residence, Wiyung, Surabaya.

Dengan berbagai macam latar belakang, mulai dari multi etnis, pekerjaan, hingga agama, warga perumahan di kawasan tersebut dapat menjadi representasi kehidupan rukun masyarakat Indonesia pada umumnya.

Yang paling unik, adalah kehidupan rukun beragama warga di kawasan tersebut. Hal ini tercermin dari berdirinya 6 rumah ibadah yang saling berdampingan pada lokasi yang sama.

Keenam rumah ibadah tersebut, sesuai dengan 6 agama yang diakui di Indonesia, yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Uniknya meski berbeda, keenam rumah ibadah yang berdiri dalam satu lokasi berdampingan itu tidak menggunakan pagar atau pembatas lainnya.

Sehingga, lokasi rumah ibadah itu terlihat menyatu dan indah, lantaran antara satu bangunan dan lainnya memiliki perbedaan gaya arsitektur masing-masing agama.

"Dalam satu lokasi itu ada Masjid Muhajirin, Gereja Katolik Kapel Santo Yustinus dan Kristen Protestan GKI Royal Residence, Kelenteng Ba De Miao, Vihara Budhayana Royal Residence, dan Pura Sakti Raden Wijaya," ujar Ketua Forum Komunikasi antar Rumah Ibadah (FKRI) Royal Residence, Indra Prasetyo, saat berbincang dengan Wartawan, Selasa (24/12/2019) kemarin.

Indra menambahkan, selama ini kerukunan antar umat di kawasan perumahan ini diakuinya cukup terjaga, meski dalam satu lokasi berderet 6 rumah ibadah dari 6 agama yang berbeda.

Untuk tetap menjaga kebersamaan tanpa mengganggu peribadatan masing-masing umat, ada beberapa kesepakatan yang dicapai oleh warga.

Ia mencontohkan, meski masjid berpengeras suara, namun itu hanya digunakan untuk azan saja. Di luar itu, masjid hanya menggunakan pengeras suara yang ada di dalam masjid.

Demikian juga dengan gereja maupun tempat ibadah lainnya, meski terdapat lonceng, namun tidak pernah dibunyikan.

"Kesepakatan warga demikian. Bahkan, di masjid tidak ada bedhugnya. Lonceng di gereja atau rumah ibadah lainnya tetap ada, tapi bandulnya dilepas, sehingga tidak dapat dibunyikan," ujarnya.

Ia mengakui, hal ini dikarenakan adanya rasa toleransi dan komunikasi yang baik antar umat beragama yang tergabung dalam FKRI.

"Komunikasi ini yang terus kita jaga. Karena dari komunikasi ini, kita dapat saling menjaga kerukunan antar umat beragama di sini," tambahnya.

Indra menceritakan, meski keenam rumah ibadah itu saling berdampingan antara satu dengan lainnya, namun selama ini tidak pernah menimbulkan persoalan yang pelik antar umat beragama yang memakai rumah ibadah tersebut.

Bahkan, antar rumah ibadah tidak saling terganggu jikalau ada peribadatan yang sedang berlangsung pada setiap rumah ibadah.

"Komunikasi itu kuncinya. Kalau umat Islam kan harus 5 waktu (salat) kegiatan ibadahnya, sedangkan yang lain kan waktu tertentu. Nah di situlah forum ini berperan. Yang penting komunikasi dan tidak saling mengganggu," ungkapnya.

Selama ini, umat masing-masing agama yang beribadah di tempat ibadah tersebut, dapat saling memahami.

Sehingga, proses peribadatan masing-masing agama di perumahan itu, dapat berjalan dengan lancar dan tiada kendala yang berarti.

"Contohnya lagi begini, umat Kristen biasanya ibadah pada hari Minggu, dengan demikian yang Katolik biasanya memilih hari Sabtu. Jadi mereka dapat menjalankan prosesi ibadahnya dengan tenang," ungkapnya.

Lalu, bagaimana kebhinekaan ini diwujudkan dalam kegiatan umat bersama? Indra menegaskan meski soal ibadah adalah urusan umat masing-masing, namun di kawasannya tetap ada kegiatan yang melibatkan antar umat beragama.

Ia mencontohkan, saat ada kegiatan Agustusan (memperingati hari kemerdekaan), setiap masing-masing agama mengirimkan wakilnya, untuk berperan sebagai pendoa.

Mereka pun berdoa dalam kegiatan bersama dengan doa dan kepercayaan masing-masing umat.

"Semua (agama) mengirimkan perwakilannya. Kemudian berdoa bergantian sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Yang mengamini ya umatnya masing-masing. Itu kan gak papa, mendoakan negara sesuai dengan agama masing-masing," pungkasnya.

Untuk terus menjaga kerukunan umat di wilayah tersebut, komunikasi yang intensif dalam FKRI lah yang menjadi kuncinya. Untuk itu, sebagai Ketua FKRI, dirinya bertekad untuk terus dapat menjaga kondisi di wilayah tersebut agar dapat terus kondusif.

"Kuncinya sekali lagi adalah komunikasi di sini. Kami juga mohon doanya supaya kerukunan umat ini akan dapat terus terjaga," tegasnya.**



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar