Ini Tanggapan Kanwil Kemenag Sumbar Terkait Isu Larangan Perayaan Natal


Nusaperdana.com, Sumbar - Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sumatera Barat Hendri menjelaskan kalau umat Kristen tidak dilarang melakukan ibadah Natal di Sumatra Barat.

Namun, mereka membatasi perayaan Natal di luar tempat ibadah. Hal ini menurut Hendri merupakan hasil kesepakatan untuk menjaga kerukunan umat beragama. 

Kesepakatan ini sudah dibahas oleh Kemenag bersama Forkopinda, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat.

Rapat koordinasi untuk membahas persiapan perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung ini sudah dilakukan pada 16 Desember lalu, sebelum mencuat pemberitaan soal pelarangan perayaan Natal di media.

Menurut Hendri, rakor berlangsung di Gedung UDKP Kecamatan Kamang Baru. Hadir juga, perwakilan masing-masing agama, ninik mamak, pemuda, dan perwakilan Kesbangpol.

"Rakor menyepakati untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban serta kerukunan umat beragama. Pelaksanaan ibadah umat Kristen tidak dilarang. Namun, kalau berjamaah silakan dilaksanakan di tempat resmi yang sudah disepakati," tutur Hendri seperti tertulis dalam siaran pers, Minggu (22/12).

Hendri mengatakan, rakor kerap digelar menjelang perayaan hari besar, termasuk Natal. Khusus Natal di Dharmasraya dan Sijunjung, ada kesepakatan yang sudah berlangsung sejak 2005.

Kesepakatan ini dilakukan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, dengan umat kristiani yang berasal dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru.

Kesepakatan itu juga dibahas dalam Rakor. Dikatakan Hendri, masyarakat bersepakat untuk tidak melarang satu sama lain melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing di rumah masing-masing.

Namun, jika dilakukan berjemaah atau mendatangkan jemaah dari tempat lain, maka pelaksanaannya di rumah ibadah resmi (gereja) dan memiliki izin dari pihak terkait.

Dijelaskan Hendri, rumah ibadah berbeda dengan tempat ibadah. Kalau tempat ibadah, maka setiap umat beragama bebas menjalankan ibadah di mana saja.

Berbeda dengan itu, rumah ibadah terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan lainnya, juga dari sisi sosial.

Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan itu adalah bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu.

Rumah ibadah juga menjadi tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai ratusan orang.

Hal ini, langsung atau tidak langsung akan terkait dengan persoalan sosial di lingkungan sekitarnya.

"Karena di Dharmasraya tidak ada rumah ibadah berupa gereja, maka masyarakat bersepakat perayaan Natal bersama itu dilakukan di Sawahlunto, bukan di Dharmasraya dan Sijunjung. Karena di dua kabupaten itu nggak ada gerejanya," jelas Hendri. 

"Jadi kami sudah bermusyawarah, membahas perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung," lanjutnya.

Terkait munculnya pemberitaan soal pelarangan ini, Hendri mengaku bahwa pihaknya sudah membentuk tim yang meninjau lokasi. Tim ini terdiri atas Kasubbag Kerukunan Umat Beragama, Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Sumbar, Kasi Kepenghuluan, Kasi Kemitraan Umat. "Alhamdulillah, masyarakat sampai saat ini aman dan rukun," tandasnya.

Sebelumnya di tempat terpisah, Program Manager Pusaka Foundation Padang, Sudarto, mengatakan selain di Dharmasraya, larangan merayakan Natal selain di tempat ibadah juga terjadi di Pesisir Selatan.

Ada sekitar 22 Kepala Keluarga (KK) umat Kristiani di Dharmasraya dan 15 KK umat Kristiani di Pesisir Selatan. 

Di kedua kabupaten itu, menurut Sudarto, memang tak ada rumah ibadah untuk umat Nasrani. Umat Kristiani di Dharmasraya misalnya, jika ingin merayakan Natal harus pergi ke gereja terdekat di Sawahlunto.

Padahal, kedua lokasi berjarak 135 kilometer. Dalam konferensi pers soal intoleransi menjelang Natal di Setara Institute, Jakarta, Sabtu (21/12), mereka mengaku terpaksa menerima kesepakatan itu.**



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar