Kurang Dari 12 Jam, Pelaku Pembunuhan di Kampar Berhasil Diringkus Polisi
Putusan MK: Eksekusi Jaminan Fidusia Harus Ikuti Prosedur Pengadilan
Pengacara Ini Bilang: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nusaperdana.com, Pekanbaru - Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materil Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia, Senin (06/01/2020), MK mewajibkan eksekusi objek jaminan fidusia yang tidak diserahkan secara sukarela oleh debitur harus mengikuti prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Sarwo Saddam Matondang, SH, MH, Advokat Pengacara yang berkantor di Kantor Hukum Matondang & Sikumbang Pekanbaru ini, putusan MK tersebut adalah salah satu wujud dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Alhamdulillah putusan MK kemarin itu salah satu wujud dari Sila ke-5 bagi masyarakat”. Kata Matondang dalam keterangannya, Selasa (07/01/2020).
Ditambahnya, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/99 pada prinsipnya memberikan jaminan dan perlindungan serta kepastian hukum terhadap Penerima Fidusia (kreditur) dalam memberikan kredit terhadap Pemberi Fidusia (debitur).
“Pada prinsipnya pasal tersebut memberikan kepastian hukum terhadap kedua belah pihak, secara tegas itu tampak dalam konsideran menimbang yang merupakan landasan dibentuknya UU Jaminan Fidusia yang lahir
atas kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana. Sehingga diperlukan jaminan Fidusia sebagai lembaga jaminan apa bila dilanda krisis.” tuturnya.
Kemudian menurutnya, ketentuan pasal 15 ayat (2) dan (3) tersebut justru luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi Pemberi Fidusia (debitur) yang berakibat pengaturan ini luput untuk menjelaskan tentang kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia jika dihadapkan dengan Putusan Pengadilan, mekanisme atau prosedur penyitaan Objek Fidusia, serta mekanisme untuk menentukan tindakan cidera janji debitur.
“Namun pada prakteknya aplikasi dari Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 42/1999 ini menemukan kelemahan khususnya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaannya yang justru dapat melanggar hak Pemberi Fidusia (debitur)” pungkasnya.
Ditambahkannya, dengan terbitnya putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, maka dengan mempersamakan “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, maka prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia harus dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu terhadap objek fidusia yang akan di eksekusi.
“Pasca putusan MK ini, kedepannya jika perusahaan finance (Kreditur) ingin mengeksekusi objek fidusia yang dipegang oleh Debitur yang keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusianya, terlebih dahulu Kreditur harus mensomasi Debitur tersebut, kemudian disusul dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri layaknya putusan Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 196 HIR”. tutupnya.

Berita Lainnya
Ketum PMRI Rusli Effendi Ajak 2,3 Juta Masyarakat Riau Rantauan Mantapkan Komitmen Perjuangan Riau Jadi Daerah Istimewa, Libatkan Tokoh Nasional
Pandangan Praktisi Hukum Riau: OTT KPK terhadap Gubernur Riau Sarat Kejanggalan Prosedural
Warga Surabaya dan Sidoarjo Soroti Kerja Nyata dan Momen Haru Silaturahmi Adies Kadir
Meutya Hafid Menteri Komdigi Ingatkan Pemda Jangan Abaikan PWI
Raih 52 Suara Akhmad Munir Terpilih Ketua Umum PWI Pusat, Tiga Formatur Disepakati
Kongres Persatuan PWI Segera Dilaksanakan, SC dan Peserta Kongres Sudah Disepakati
Klarifikasi : Nilamsari & Arief Budiyanto, Dua Mantan Direksi PT. Sari Kreasi Boga,Tbk. Sudah Resmi Mundur Juni 2024
Akhiri Perseteruan Hendry CH Bangun dan Zulmansyah Sekedang Sepakat Kongres Persatuan PWI Digelar Paling Lambat Agustus 2025