Sejarah Sabun, Zaman Babilonia Hingga Disempurnakan Ilmuwan Islam

Sumber Foto: Detik.com

Nusaperdana.com, Jakarta - Selama pandemi COVID-19, sabun wajib ada tiap fasilitas cuci tangan. Kandungan sabun terbukti efektif menjaga kebersihan dan mencegah infeksi virus corona.

Sabun yang kini mudah ditemukan dalam berbagai bentuk dan fungsi, ternyata punya sejarah panjang. Dikutip dari Morocco World News, penemuan sabun dimulai pada zaman Babilonia sekitar 2.800 SM. Bangsa Mesir kuno, Romawi, dan Yunani juga membuat sabun dengan mencampur lemak, minyak, dan garam.

Namun saat itu, sabun tidak dibuat untuk kebersihan diri sendiri atau personal hygiene. Sabun dibuat untuk membersihkan produksi tekstil, medis, alat makan, dan peralatan rumah tangga lainnya. Untuk keperluan tersebut, sabun tersedia dalam aroma yang kurang sedap dengan bentuk mirip sabun colek.

Dikutip dari History of Science and Technology in Islam, bentuk sabun itulah yang disempurnakan ilmuwan muslim Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariya Al Razi. Ilmuwan yang lahir di Teheran, Iran, tersebut dikenal juga dengan nama Rhazes atau Rasis. Proses pembuatan sabun hasil modifikasi Al-Razi menggunakan minyak wijen atau zaitun, alkali, dan lemon (lime).

Bahan sabun tersebut dimasak sedemikian rupa hingga keras dan diberi pewangi. Hasil modifikasi sabun Al-Razi memudahkan masyarakat menjaga kebersihan diri dan mencegah bau badan. Termasuk bagi umat muslim yang tubuhnya wajib bersih tiap kali hendak sholat dan jangan sampai berbau tidak sedap.

Modifikasi sabun bukan satu-satunya karya Al-Razi bagi peradaban manusia. Dikutip dari situs US National Library of Medicine National Institutes of Health, Al-Razi adalah seorang dokter yang terkenal. Dia juga menguasai filsafat seperti ditulis dalam artikel berjudul Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariya Al Razi (Rhazes): Philosopher, Physician and Alchemist.

Al-Razi menjadi direktur rumah sakit di kampung halamannya Al-Rayy selama pemerintahan Mansur Ibn Ishaq Ibn Ahmad Ibn Asad dari Dinasti Samanian. Keunggulan Al-Razi didengar penguasa Dinasti Abbasiyah hingga dia dipanggil Khalifah Al-Muktafi. Al-Razi kemudian menjadi direktur rumah sakit terbesar di Baghdad.

Sebagai dokter, Al-Razi terkenal dengan metode memilih lokasi pendirian rumah sakit. Dia menempatkan beberapa potong daging segar di berbagai lokasi di Baghdad. Setelah beberapa hari, Al-Razi membandingkan kesegaran potongan daging tersebut. Lokasi rumah sakit dipilih di tempat dengan potongan daging lebih segar, karena dianggap memiliki kualitas udara lebih baik dan sehat.

Selama menjadi tenaga kesehatan, Al-Razi dikenal sangat dermawan dan mementingkan aspek kemanusiaan. Al-Razi merawat pasien dengan mendengar tiap keluhan, saran, dan tanpa biaya. Setelah beberapa tahun mengabdi, Al-Razi mengalami katarak di kedua matanya hingga buta dan wafat. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Al-Hawi fi al-Tibb yang dikenal dengan Liber Continents.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar