Terjadi Salah Paham, WHO Cabut Pernyataan soal OTG


Nusaperdana.com - Badan Kesehatan Dunia (WHO) meralat pernyataannya yaitu, terkait dengan orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 yang disebut sangat jarang menularkan virus kepada individu lainnya.

Pernyataan yang bertentangan dengan para ilmuwan dan berbagai penelitian itu dilontarkan Kepala Unit Penyakit Baru dan Zoonosis WHO Dr Maria Van Kerkhove. Kini dia berkata bahwa itu adalah salah paham.

Kerkhove mengungkapkan, OTG tetap bisa menularkan virus, tetapi tidak diketahui persentasenya. Dia berkilah bahwa kata-kata sangat jarang yang dipakainya merujuk pada penelitian mengenai hal tersebut.

Bukan bahwa kasus OTG secara global yang bisa menularkan virus sangat jarang. Pernyataannya pada Senin (8/6) hanya didasarkan pada tiga penelitian.

"Kami tidak tahu apakah orang OTG bisa menularkan virus," ujarnya dalam video tanya jawab di Facebook live seperti dikutip Fox News.

Berapa banyak OTG dan berapa banyak dari mereka yang bisa menularkan kepada orang lain masih harus dipahami lebih lanjut.

Sejatinya itu bukan kali pertama pernya­taan WHO menjadi bumerang bagi mereka. Misalnya, soal penggunaan masker. WHO sempat menyarankan bahwa orang sehat tidak perlu memakai masker.

Mereka menyatakan, kecil kemungkinan masker bisa mencegah penularan. Baru pada Jumat (5/6) WHO menyarankan agar semua orang memakai masker. Padahal, hampir semua negara sudah menerapkan kebijakan tersebut.

Pun demikian penularan virus lewat udara atau aerosol. WHO menegaskan bahwa aerosol bukan faktor penting penularan virus SARS-CoV-2. Padahal, banyak penelitian yang mengklaim sebaliknya.

"WHO tidak selaras dengan sebagian besar dunia tentang masalah droplets dan aerosol," tutur pakar penyakit menular di University of Minnesota Michael Osterholm seperti dikutip The New York Times.

Pernyataan WHO yang paling kontroversial dan membuatnya berseberangan dengan AS adalah soal penularan dari manusia ke manusia.

Di awal kemunculan Covid-19, WHO menyatakan, tidak ada bukti bahwa virus tersebut menular antarmanusia.

Imbasnya, negara-negara di dunia menjadi tidak siap begitu fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Sementara itu, di Singapura, obat untuk pasien Covid-19 sudah bisa diuji klinis pekan depan.

Obat yang diproduksi perusahaan bioteknologi berbasis di Singapura, Tychan, tersebut bisa memperlambat keparahan pada pasien. Tychan sudah mendapatkan izin uji klinis tahap pertama pada relawan yang sehat dari Otoritas Ilmu Kesehatan (HSA) Singapura.

Obat yang diproduksi Tychan adalah TY027. Itu adalah antibodi monoklonal yang khusus menarget SARS-CoV-2.

Jenis antibodi tersebut diisolasi dan diproduksi dalam jumlah besar untuk mengobati penyakit. Saat ini belum ada pengobatan dengan antibodi khusus untuk pasien Covid-19.

Tychan menjadi satu-satunya yang terdaftar secara internasional untuk uji klinis pengobatan tersebut. Vaksin untuk virus mematikan yang kini menjadi pandemi itu juga belum ada.

Selama ini pasien yang parah membutuhkan oksigen dan ventilator. Tanpa alat tersebut, mereka bisa meninggal.

Jika tingkat keparahan penyakit pasien bisa dicegah, angka kematian dapat ditekan dan kesembuhan meningkat.

Obat semacam itu dibutuhkan karena penularan secara global masih masif. Di India, misalnya. Kemarin (10/6) ada penambahan 9.985 kasus baru dan 274 kematian. Total kasus di India mencapai 276.583, tertinggi kelima di dunia. Korbannya 7.745 jiwa.

Hal senada terjadi di Brazil. Pemerintah sempat menghapus data-data tentang Covid-19 dan berhenti mengunggah angka kematian serta penularan.

Pada Selasa (9/6) Mahkamah Agung me­mutuskan bahwa pemerintah harus mengembalikan data tersebut.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar