Nusaperdana.com - Nuansa Bali begitu kental ketika memasuki salah satu sudut Kota Xinlong di Provinsi Hainan, wilayah paling selatan Tiongkok.

Bukan hanya gerbang yang mirip dengan Candi Bentar atau arsitektur bangunan lainnya yang khas Bali.

Banyak juga warga Hoakiau –sebutan etnis perantauan Tionghoa– yang lalu-lalang dengan pakaian yang lazim kita temui di Bali. Lelakinya memakai udeng. Sedangkan perempuannya memakai jarit dan kebaya.

Meski terasa seperti sedang berada di Bali, Desa Bali hanyalah duplikat perkampungan Bali yang menjadi salah satu objek wisata di Tiongkok.

Suasana tropis Desa Bali tampaknya sesuai dengan tema wisata pantai yang membuat Hainan dijuluki Hawaii-nya Tiongkok.

”Selamat datang di Desa Bali,” kata David, pemandu wisata rombongan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih.

Menurut David, Desa Bali sejatinya adalah kawasan pertanian dengan komoditas utama lada, kelapa, cokelat, merica, dan kopi.

Sebagian petani merupakan etnis Hoakiau yang pernah merantau ke Indonesia di masa lalu.

Hasil pertanian mereka juga dijajakan di kios-kios di seantero desa wisata tersebut. Kios hasil pertanian itu berselang-seling dengan panggung pentas seni yang menyajikan tarian-tarian khas Bali.

Penarinya adalah etnis Hoakiau yang berkolaborasi dengan pekerja seni dari Indonesia. Karena penarinya tidak berasal dari Bali, tentu tariannya pun tidak persis dengan yang kita temui di Bali. Ada sejumlah modifikasi.

Pekerja seni dari Indonesia itu sedang mengikuti program pertukaran budaya di Tiongkok.

Keberadaan pekerja seni tersebut juga memberi ”nyawa” Indonesia tersendiri di Desa Bali. Misalnya, mereka bertugas memutar lagu-lagu yang sedang tenar di Indonesia untuk pengunjung Desa Bali.

Tak heran, campursari Lord Didi Kempot hingga Salah Apa Aku dari ILIR7 menjadi lagu latar yang diputar di pelantang suara ketika kita berkeliling di Desa Bali.

Makanan yang dijual di Desa Bali pun kebanyakan khas Indonesia. Salah satunya kue semprong.

Desa Bali dibangun sejak 2016 oleh perusahaan swasta Nan Kuo. Luasnya hanya 4 hektare.

Sebelum menjadi desa wisata, Desa Bali merupakan kawasan pertanian yang dihibahkan oleh Pemerintah Tiongkok untuk perantau Tionghoa yang dipulangkan pada 1951. Kini, total ada 80 tim produksi di kawasan pertanian Xinlong.

Menurut Stage Manager Desa Bali Ambar Purwito, di seluruh Tiongkok ada 84 area pertanian yang menampung perantau Tionghoa.

Namun, kawasan pertanian di Xinlong adalah yang terbesar di Tiongkok. Selain pertanian, tempat perantauan Xinlong juga menjadi objek wisata.

”Pertanian Xinlong telah menampung 2.035 orang Hoakiau dari Indonesia sejak 1950–1960. Kebanyakan dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan,” katanya.

Meski mayoritas penghuni kawasan pertanian tersebut bukan perantau dari Bali, komisaris Nan Kuo menginginkan nama yang paling mewakili Indonesia. Desa Bali akhirnya dipilih. Sebab, Bali merupakan tempat wisata yang paling familier bagi warga Tiongkok.

”Pulau Bali adalah tempat wisata yang terkenal di Tiongkok,” ujar pria dari Banyumas, Jawa Tengah, tersebut.

Ambar menambahkan, pemerintah Indonesia juga dilibatkan dalam pengelolaan Desa Bali. Ambar adalah salah satu sukarelawan yang diperbantukan oleh KJRI Guangzhou untuk mengenalkan Indonesia kepada warga Tiongkok sejak 2018.

Dia ditugaskan untuk memperkaya pengalaman khas Indonesia bagi pengunjung di Desa Bali.

”Untuk mengembalikan ingatan Hoakiau tentang kerinduan terhadap Indonesia,” katanya.

Selain Ambar, ada sejumlah warga Indonesia yang bekerja di Desa Bali. Mereka tidak berstatus tenaga kerja. Sebab, Tiongkok melarang tenaga kerja asing. Namun, Tiongkok mengizinkan pemilik sertifikat tenaga penyajian budaya mendapat visa kerja.

Tenaga profesional asal Indonesia itu bekerja sebagai pelukis, penari, undagi, maupun pekerja seni lain.

”Hampir semua arsitektur di sini asli bikinan orang Bali. Seperti miniatur Candi Bentar hingga properti panggung,” ujarnya.

Pengembangan Desa Bali merupakan bagian dari strategi pemerintah Tiongkok untuk menghadirkan replika tempat-tempat wisata terkenal dunia di negaranya.

Selain Desa Bali, Tiongkok memiliki replika Tower Bridge London di Yuanhe Pond, Suzhou, Provinsi Jiangsu. Di Lanzhou, Provinsi Gansu, juga dibangun replika Parthenon yang mirip dengan Parthenon di Athena.

Tiongkok juga membangun duplikat Menara Eiffel di Tianducheng, menara miring Pisa di Shanghai, Desa Florentina di Wuqing, dan masih banyak lagi.

Tempat-tempat itu menjadi jujukan favorit warga Tiongkok yang tidak ”sempat” pergi ke lokasi wisata aslinya.

Dengan jumlah penduduk Tiongkok yang sangat besar, mayoritas tempat wisata di Tiongkok memang hanya menargetkan warganya sendiri.

Pendirian tetenger wisata dunia itu menjadi jalan tengah bagi warga yang ingin merasakan suasana Bali, tapi tidak punya ke lapangan untuk pergi ke Bali.

”Sepertinya masih akan ada replika landmark-landmark dari berbagai negara yang tersebar di seluruh Tiongkok,” terang Ambar, lantas tertawa.**



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar