Kebebasan Pers Dibungkam dengan Pasal Karet


Banda Aceh - Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, dengan berita yang dihasilkan oleh wartawan kadang muncul kericuhan, tapi kadang tanpa karya jurnalis akan selalu muncul penindasan terhadap masyarakat. Walaupun berada di luar sistem politik normal, kehadiran wartawan dan keberadaan perusahaan media memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Kehadiran pers menjadi tolak ukur kualitas demokrasi di Indonesia. Pers mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power. Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers juga berkembang dengan baik. Karena itu perusahaan media dan wartawan juga harus menjaga hati nurani untuk menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sebagai pilar keempat di sebuah negara, di Indonesia, pers telah dijamin kemerdekaannya dan diakui oleh Undang Undang Dasar 1945 untuk menjalankan fungsi kontrol, bila terjadi penyimpangan terhadap demokrasi dan hukum. Di Indonesia, kebebasan pers belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, terutama bagi wartawan yang sedang menjalankan tugas dan fungsi jurnalistiknya, mereka sering menjadi sasaran dan target untuk diserang oleh pihak tertentu yang berusaha membatasi demokrasi dan supermasi hukum. Perkembangan pers sering diistilahkan dengan Fischer dan Merrill sebagai sistem politik di Indonesia. Di Indonesia, kebebasan pers telah dituangkan dalam Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Negara telah menghapus pemberlakuan Surat Izin Penerbitan Usaha Pers (SIUPP) dan menghapus pemberlakuan surat izin penerbitan usaha pers, serta menghapuskan lembaga sensor terhadap pers di Indonesia. Pers di Indonesia secara nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asa, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun, sebagaimana pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Dalam sistem liberalisme saat ini di Indonesia walau telah dijamin kebebasan oleh Undang Undang tidak sedikit wartawan yang kemudian dipenjarakan, diintimidasi, disiksa bahkan ada yang dibunuh. Di banyak daerah, wartawan di negeri ini yang melakukan kesalahan adminitrasi diadili di peradilan umum, telah tejadi kriminalisasi terhaap pers. Pers pada kenyataannya tidak lagi bebas di era reformasi. Para wartawan yang bekerja tanpa pamrih demi menyampaikan informasi kepada masyarakat sering dihadapkan dengan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan UU ITE yang selalu digunakan sebagai senjata untuk mengbungkam pers di negeri ini. Kondisi ini tentu menjadi perhatian kita bersama, karena pers masuk pada pilar keempat, sudah patutnya dikembalikan pada fungsinya, hentikan kriminalisasi terhadap pers. Penulis: Muhammad Abubakar Ketua Umum Pengurus Wilayah Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Aceh



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar