Kukerta Mahasiswa Unri Mengenal Suku Asli Sakai di Kelurahan Pematang Pudu

Kukerta Mahasiswa Unri bersama Tokoh Masyarakat Sakai Kelurahan Pematang Pudu

Nusaperdana.com,Mandau - Dengan tema "Balek Kampung"  Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) Mahasiswa Universitas Riau (Unri) turut Ke Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Di Kelurahan Pematang Pudu ini, para Mahasiswa mengambil kegiatan untuk lebih mengenal suku Asli Sakai yang ada menetap di sana dan masih eksis sampai saat ini, serta sudah mengalami perubahan, baik dari segi sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan politik.

Ketua Kukerta Mahasiswa Unri Muhammad Zaky Alfathoni Ardi kepada Nusaperdana.com, Selasa (02/08/2022), menceritakan di kelurahan Pematang Pudu dengan luas wilayah sebesar 25.000 m²,  berbatasan dengan beberapa daerah yaitu sebelah Utara kelurahan Balik Alam, Babusalam, Air Jamban dan Batang Serosa, sebelah Selatan Kelurahan Balai Raja, Desa Pinggir, Sebelah Barat Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan dan Sebelah Timur kelurahan Talang Mandi, Titian Antui dengan jumlah penduduk sebanyak 26,532 Jiwa 7257 KK yang termasuk juga Suku Asli Riau yakni Suku Sakai.

"Suku tersebut di bagi menjadi beberapa kelompok yang disebut sebagai "Bathin" yang ada di kabupaten Bengkalis. Bathin tersebut ada 8 yakni  Batin Baromban di Petani, Sutan Bertuah di Tanah Setupang Pematang Pudu, Batin Bumbung di Tanah Putih Sebanga, Batin Jolelo di Lubuk Pinggir,  Batin Tomat di Semunai, Batin Ajo Rangkayo di Air Jamban, Batin Genggong di Muara Basung, Batin Bertuah di Tanah Putih Sebanga," jelasnya. 

Sementara itu, dikatakan Zaki dari segi sosial, Masyarakat Sakai dahulunya hidup berkumpul dan terasing serta hidup dalam segala keterbatasan. Pola hidup tradisional dan nomaden dilalui suku Sakai ini, kemudian masyarakat Sakai hidup menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat luas. Seiring dengan kemajuan zaman masyarakat Sakai yang dulunya suka hidup berpindah-pindah, kini sudah  berangsur modern  dan sudah beradaptasi dengan masyarakat lainnya.

Selanjutnya dari segi Budaya, masyarakat Suku Sakai memiliki beberapa kebudayaan dan situs peninggalan yakni dapat kita lihat dibawah ini :

- Suku sakai yang ada di kelurahan Pematang Pudu memiliki dua makam  yang bersejarah bagi Masyarakat Suku Sakai,  yakni: MAKAM TUAN CHOLIFAH ROMADHAN BATHIN BATUAH UJANG GANTI di Babussalam Pematang Pudu Duri yang wafat pada 29 November 1988. Serta MAKAM  DATUK ANTUI, SILIDAH HITAM yang merupakan Sutan Botuah I. Makam tersebut berada di  Banja Tanjung Sialang, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.

- Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya. Sebelumnya, ubi manggalo yang telah dikupas dikumpulkan di dalam wadah yang disebut tangguk.  Saat ini timo sudah jarang dipakai di suku Sakai dikarenakan sulitnya mencari kulit kerbau dan mata pencarian penduduknya yang sudah beragam sehingga sudah sulit untuk mencari nafkah dari madu hutan.

-Ubi manggalo masih dapat ditemukan di perumahan penduduk salah satunya keluarga dari Bapak Afrizal Nantan. Namun ubi manggalo ini bukan dijadikan mata pencarian utama karena banyaknya penduduk yang sudah beralih ke beras sebagai sumber utama makanan sehari-hari. 

Kemudian ditambahkan Zaki dari segi ekonomi, perekonomian masyarakat suku Sakai sebelum program pemerintah datang kepada masyarakat sakai, mata pencaharian mereka sangat bergantung kepada hutan. Di dalam hutan sendiri mereka juga membuka ladang, saat pembuatan ladang mereka membutuhkan seorang dukun yang akan melakukan ritual agar roh-roh halus di dalam hutan tidak merusak ladang mereka.

"Dalam membuka ladang mereka juga melihat datangnya angin, kemudian barulah mereka menebang hutan untuk membuka ladang. Pembukaan ladang dilakukan secara bergotong-royong, tanaman utama yang mereka tanam di ladang adalah ubi Manggalo, kemudian sayur-sayuran, cabai, dan lainnya (Noerbahrij Yoesoef, 1992, hlm 15)," papar Zaki. 

Lebih lanjut, Zaki menjelaskan saat Cevron memasuki Duri, dengan mendirikan perusahaan minyak di Duri, mereka banyak membeli tanah kepada masyarakat yang tanahnya memiliki minyak di dalamnya, tak terkecuali dengan masyarakat Sakai. Seiring terjualnya tanah-tanah masyarakata Sakai kepada pihak Cevron dan perusahaan yang ber HTI dan HGU, menyebabkan masyarakat Sakai sulit untuk mencari penghidupan di dalam hutan. 

"Hutan yang berstatus HTI dan HGU ditebang untuk pemenuhan pabrik kertas, menanam kembali dengan pohon-pohon sawit, serta didalam tanahnya yang mengandung minyak dan gas dieksploitasi oleh pihak Cevron. Sehingga masyarakat Sakai sulit untuk mencari ikan di sungai karena sudah tercemar dengan limbah dari pabrik yang dibuat oleh Cevron dan perusahaan – perusahaan swasta di Duri (Isjoni, 2005, hlm 40),"ungkap Zaki. 

Kemudian masyarakat Sakai memberikan beberapa tuntutan kepada pihak Cevron agar masyarakat Sakai mampu bersaing dengan pihak pendatang, agar mereka mampu bertahan hidup dan menafkahi keluarganya.

Cevron memberikan pelatihan kepada masyarakat Sakai berupa pelatihan keterampilan las, komputer, beasiswa pendidikan dalam program Anak Asuh Cevron, komunitas calistung bagi yang ingin melanjutkan Kejar Paket A,B,C (wawancara dengan Kepala Lembaga Adat Sakai Riau, Johan). 

Saat ini, kata Zaki mata pencaharian masyarakat Sakai sudah bervariasi, mereka tidak lagi berburu dan berladang di dalam hutan. Namun mereka sudah memiliki berbagai jenis pekerjaan, baik sebagai karyawan swasta, berdagang, lembaga pemerintahan, berladang, beternak, dan lainnya.

"Masyarakat Sakai juga sudah ada yang mengisi posisi penting di pemerintahan yang ada di Mandau. Menunjukkan bahwa masyarakat Sakai saat ini sudah mampu berbaur dan bersaing dengan penduduk pendatang di Mandau," ucap Zaki. 

Kemudian dari segi politik, Zaki menjelaskan masyarakat Suku Sakai yang dahulu dipimpin oleh seorang kepala suku yang ditetapkan oleh Kesultanan Siak berdasarkan wilayah, untuk wilayah Duri terkhusus Kelurahan Pematang Pudu terdapat dua orang kepala suku, yang bernama Bathin Batuah dan Sutan Botuah. Namun seiring berkembangnya zaman sistem kepemimpinan masyarakat Suku Sakai saat ini sudah patuh pada kepemimpinan Republik Indonesia.

Dari segi Agama, pada masa Kerajaan Siak masyarakat Suku Sakai sudah mulai menganut Agama Islam karena pada masa itu masyarakat Suku Sakai merupakan anak emas dari Kerajaan Siak. Sehingga agama dari sebagian masyarakat Suku Sakai saat itu sudah mulai menganut agama Islam. Namun belum seluruhnya dari masyarakat Suku Sakai pada saat itu yang menganut agama Islam, dari sebagian masyarakat Suku Sakai saat itu ada yang masih menganut agama  Animisme dan Dinamismie. 

Seiring kemajuan zaman saat ini  masyarakat Suku Sakai yang berada di Kelurahan Pematang Pudu saat ini seluruhnya sudah menganut agama Islam.Dari segi pendidikan, anak- anak masyarakat Suku Sakai saat ini sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi (PT). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya organisasi PB HPPMSR yakni (Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sakai Riau ).  

"Anak yang berasal dari suku Sakai yang sedang melanjutkan perguruan tinggi saat ini mereka memiliki tujuan ingin merubah kehidupan dan keluarga untuk kedepannya, akan tetapi  dibalik ada anak- anak suku sakai yang sedang menempuh perguruan tinggi saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada juga beberapa anak yang menolak melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi dikarenakan Rendahnya pemahaman masyarakat akan makna penting pendidikan bagi anak untuk melanjutkan perguruan tinggi, Rendahnya  minat  anak dari masyarakat Suku Sakai dalam memasuki perguruan tinggi yang disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga," papar Zaki dari data yang di dapat saat berbincang-bincang dengan masyarakat Sakai di Kelurahan Pematang Pudu.**



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar