Sekilas Kisah Kawasan Pesisir, Desa Tanjung Pasir, Indragiri Hilir: Mencari Rezeki, Mempertahankan Tradisi


Inhil - Desa Tanjung Pasir, adalah sebuah Desa kecil di kawasan pesisir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Desa Tanjung Pasir telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir pada umumnya. Daerah yang ditempati oleh sekitar 2000 jiwa ini juga memiliki ragam suku yang berbeda. Tak terkecuali suku Duanu yang sejak dulu telah menapakkan kaki di Desa Tanjung Pasir. Dari sisi ekonomi, masyarakat di Desa Tanjung Pasir telah menjadikan laut sebagai sumber utama penghidupan. Aktifitas melaut menjadi rutinitas untuk menghidupi keluarga. Menongkah kerang. Ya, istilah ini memang tak asing lagi bagi masyarakat Desa Tanjung Pasir bahkan masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir. Kegiatan mencari kerang menggunakan sebilah papan itu, kerap dilakoni masyarakat Desa Tanjung Pasir, khususnya suku Duano. Masa kering air laut adalah masa yang tepat untuk nelayan suku Duano turun mencari kerang, yang mana pada masa ini, air di lautan sedang benar - benar kering atau surut. Tidak begitu halnya jika memasuki masa perbani, yang mana air laut naik atau mengalami pasang. Masyarakat nelayan suku Duano akan berhenti sementara waktu untuk mencari kerang. "Kalau sedang kering, mereka (Nelayan Duano, red) akan turun mencari kerang. Masa kering terjadi sekitar 5 sampai 6 hari dalam seminggu," kata Kepala Desa Tanjung Pasir, Kamaludin. Setiap pagi hingga sore hari dalam masa kering, masyarakat suku duano turun untuk menongkah kerang. Hamparan lumpur dipinggir laut adalah 'arena pertarungan'. Riak - riak kecil lautan, dan terik matahari senantiasa menemani mereka. Tak jarang marabahaya juga nyaris menghampiri. Binatang buas, menjadi satu dari sekian banyak ancaman. Namun, apalah daya, mereka tak kuasa memikirkannya. Kebutuhan keluarga adalah hal utama bagi para Duano. Suku Duano dikenal tangguh dalam bekerja. Tak banyak orang yang mampu melakukan aktifitas menongkah, lebih lagi menjadikannya sebagai rutinitas. Bagaimana tidak, medan berlumpur sungguh sangat berat untuk dikayuh menggunakan 'landasan' berupa sebilah papan. Resiko terluka di bagian lutut adalah yang pertama menjadi pertimbangan dalam menongkah kerang. Seperti yang diungkapkan Kepala Desa Tanjung Pasir, Kamaludin, menongkah kerang bukan merupakan kegiatan yang mudah dilakukan. Bahkan, Pria yang dalam darahnya juga mengalir darah suku Duano ini sekalipun tak mampu untuk menjalani aktifitas menongkah kerang. "Pernah dulu, waktu SMA Saya mencoba menongkah kerang. Saya menangis karena tidak sanggup mengayuh landasan. Semenjak itu, Saya tidak mau lagi ikut," katanya. Menongkah kerang bukanlah suatu aktifitas yang mudah untuk dilakukan. Meski begitu, masyarakat suku Duano telah melakoni pekerjaan ini selama puluhan tahun. Tak mengherankan jika suku Duano telah sangat pandai dalam teknik menongkah. Saking lamanya, menongkah kerang dianggap sebagai tradisi dan kearifan lokal masyarakat suku Duano. Bukan karena hobi, melainkan karena memang ketidakmampuan mereka untuk mencari dan melakukan aktifitas ekonomi dengan cara dan di bidang lainnya. Ketergantungan masyarakat suku Duano dengan aktifitas menongkah kerang tergolong tinggi. Pendapatan mereka akan turun drastis bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bilamana tidak melakukan aktifitas menongkah kerang. Di tengah ketergantungan yang tinggi terhadap kerang, keberadaan kerang itu sendiri semakin hari kian tergerus karena masuknya teknologi. Penggunaan mini trol untuk menangkap kerang mengancam keberadaan kerang, baik dari sisi ketersediaan maupun habitatnya. Tindakan eksploitasi oleh perusahaan penangkapan menjadi ironi tersendiri bagi suku Duano. Mirisnya lagi, Pemerintah tampak tak dapat berkutik dengan kegiatan eksploitasi ini. Padahal, dengan jelas regulasi melarang keras penggunaan trol karena dapat menghancurkan habitat dan mengancam kepunahan biota. "Kalau sudah mini trol itu menjatuhkan jaringnya, lumpur terangkat ke atas. Juga apa saja yang ada di permukaan lumpur ikut naik. Kerang besar, kecil juga ikut terangkat. Padahal nanti kerang kecil itu dibuang juga," kata Kepala Desa Tanjung Pasir, Kamaludin. Entah itu ketidakmampuan atau ketidakmauan yang membuat trol - trol milik perusahaan itu terus beroperasi. Sampai saat ini, eksploitasi masih tetap terjadi. Menggerogoti rupiah dari kerang dan tiada satu pun yang berang. Haruskah mereka melawan atau mengalah dengan keadaan?. Mungkin di suatu saat, akan ada yang mengerti, bahwa menongkah tak hanya sekadar mencari rezeki tapi sudah menjadi sebuah tradisi. Penulis: Dedek Pratama



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar