Kisah JK Jadi Mediator Konflik Poso dan Ambon

Jusuf Kalla

Nusaperdana.com - Wakil Presiden Periode 2014-2019 Jusuf Kalla menekankan bahwa seorang mediator harus benar-benar mengetahui dan menguasai masalah yang dimediasinya dengan benar. Selain itu, seorang mediator juga harus mampu bersikap netral.

Hal tersebut disampaikan Kalla saat berbicara di acara Semiloka Nasional bertajuk "Refleksi Implementasi Mediasi di Indonesia", di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019). 

"Mediator harus orang independen, berdiri netral, senetral-netralnya. Tapi sebelum jadi mediator, harus ketahui masalahnya dengan betul," ujar Kalla.



Lantas ia menceritakan pengalamannya ketika menjadi mediator untuk konflik Poso 1998-2001 dan Ambon.

Kalla mengatakan, konflik Poso dan Ambon yang terjadi beberapa tahun lalu penyebabnya bukanlah agama, melainkan politik.

Walaupun, kata dia, dalam konflik yang terjadi melibatkan agama, yakni muslim dan Kristen.

"Jadi konflik Poso dan Ambon itu politik, bukan agama di belakang cermin, melibatkan agama. Di Poso, ada sering ditemukan demokrasi-demokrasi yang datang tiba-tiba," kata dia.

"Karena itu, Poso, masalah apa yang terjadi? Oh masalahnya, yang berkonflik Islam-Kristen, kenapa mereka berkonflik? Karena masalah politik, kekuasaan, masalah posisi," tambahnya.

Padahal, lanjut Kalla, sebelum konflik terjadi Poso merupakan daerah yang posisi penduduknya hampir seimbang dalam demokrasi terpimpin dan Pancasila.

Jika bupati beragama Islam, maka wakilnya beragama Kristen. Begitu pun sebaliknya.

Kalla mengatakan, awal mula konflik Posoterjadi karena adanya pemilihan kepala daerah (pilkada) yang pemenangnya berasal dari partai-berbasis Islam, kemudian memilih wakil dan sekretaris daerah beragama Islam.

Akibatnya, kata dia, terjadi ketidakseimbangan.

"Maka sebab-sebab sedikit saja, anak nakal ada yang pulang tahun baru minum-minum mukul penjaga masjid, besoknya terjadi demo besar terjadilah konflik awal. Tiba tiba saja memang, maka terjadilah konflik dua tahun yang menewaskan lebih dari 1.500 orang," kata Kalla.

Sementara di Ambon, terjadi hal yang sama, dengan diawali oleh perkelahian anak muda di sebuah stasiun bus. Tiga hari kemudian konflik pun semakin membesar.

Saat menangani peristiwa itu, Kalla menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (menkokesra) pada tahun 2001 dan bertugas menangani para pengungsinya.



Karena jumlah pengungsi yang mencapai 200.000 orang, cara penyelesaian yang ia angap paling efektif adalah perdamaian melalui Deklarasi Malino.

"Karena yang berkonflik masyarakat, maka yang harus netral pemerintah," tutur Kalla. 

"Tapi juga harus ditenangkan dulu, menghilangkan pikiran, siapa yang bunuh seseorang. Islam bunuh Kristen masuk surga dan sebaliknya, maka harus diubah pemikiran mereka dengan menyatakan kalian semua masuk neraka karena tidak ada ajaran Islam atau Kristen saling membunuh masuk surga," kata dia.

Menurut Kalla, saat ia mengatakan itu, mereka yang berkonflik terkejut dan ketakutan.

"Sejak saat itu, mulailah saya sebagaimediator antar mereka. Di situ saya posisi mulai netral dan tidak berpihak sama sekali," ucapnya.

"Saya datang ke Poso, harus kenal siapa yang berperan, berkelahi dan siapa komandannya. Mereka siap bicara, kemudian saya undang ke Malino," ujar Kalla.**



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar