Bandara Sesak dan Surat Sehat Dijual, Pemerintah Harus Evaluasi Aturan Perjalanan Jarak Jauh

Sumber Foto: Detik.com

Nusaperdana.com, Jakarta - Kelonggaran yang diberikan pemerintah untuk warga melakukan perjalanan jarak jauh wajib ditinjau ulang. Bandara yang padat dan surat bebas corona yang diperjualbelikan bukti relaksasi justru membawa dampak negatif.

Setelah beberapa pekan PSBB diberlakukan di banyak daerah, pekan lalu pemerintah mengeluarkan aturan yang dianggap kontroversial. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah menginzinkan seluruh moda transportasi kembali beroperasi.

Sejak saat itu arus manusia berpindah kota mulai terlihat. Awalnya kecil, namun lama-kelamaan membesar. Salah satu kasus yang jadi perhatian adalah berjubelnya warga di bandara. Lalu ada juga surat sehat virus corona yang dijual di toko online. Keterangan medis itu merupakan barang wajib yang harus disertakan kala bepergian saat pandemi sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Perhubungan Darat dengan nomor SE.9/AJ.201/DRJD/2020.

Direktur Eksektutif Institusi Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang menilai aturan ini perlu dikaji ulang. Banyak celah atau akal-akalan masyarakat yang muncul untuk mengelabui aturan ini sehingga terkesan tidak efektif mengurangi perjuangan masyarakat Indonesia memerangi COVID-19.

"Sangat mudahnya dokumen prasyarat perjalanan semasa PSBB itu dibuat/didapatkan dan kurangnya pengawasan kapasitas tempat duduk melebihi 50 % dijual tersebut akan berkonsekuensi pemerintah harus meninjau aturan PSBB dalam perjalanan selama mudik lebaran tahun 2020," kata Deddy.

Pemalsuan atau komersialisasi surat keterangan bebas COVID-19 ini tentu akan membuat penyedia layanan transportasi kewalahan. Surat itu pun dapat dibeli dengan mudah lewat e-commerce dengan harga relatif murah, dari Rp 35 ribu sampai Rp 70 ribu.

Hasilnya, pada Kamis (14/5/2020) lalu Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta mendadak dibanjiri calon penumpang. Dikarenakan maskapai penerbangan hanya boleh mengangkut 50% kapasitas, penumpukan orang terjadi di area boarding bandara.

Deddy pun menyorot pemerintah tidak kompak dan tegas dalam menangani masalah kesehatan yang sudah mendunia ini. "Sebenarnya Pemerintah tegas tetap melarang mudik selama masa PSBB ini, namun ironisnya masih dikeluarkan aturan mudik yang diterbitkan oleh Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perhubungan PM No 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)," ucapnya.

Dalam menyampaikan relaksasi ini pun timbul banyak interpretasi akal-akalan masyarakat. Memang sepele, namun kenyataan di lapangan mengatakan yang sesungguhnya.

"Yang membedakan dalam konteks pulkam dan mudik adalah kebiasaan atau budaya pulkam biasanya kembali atau tidak kembali lagi sedangkan mudik pasti kembali lagi (ada balik). Namun kedua term budaya perjalanan itu telah menjebak masyarakat yang ingin melakukan mudik tapi dilarang," papar Deddy.

"Sehingga Pemerintah akhirnya kembali tegas melarang mudik tetapi pemerintah juga melakukan relaksasi ( pelonggaran ) diizinkan mudik hanya untuk kegiatan bekerja dan kegiatan mengantar pasien sakit. Di lingkup ini pemerintah kembali blunder menggunakan istilah "mudik" yang diizinkan dengan syarat-syarat tertentu," timpalnya.

Deddy mencoba memberikan koreksi agar aturan ini bisa lebih tajam dan tegas. Penggunaan kata 'mudik' ada baiknya diganti dengan kata 'perjalanan' sehingga setiap pergerakkan masyarakat dapat dibatasi lebih ketat.

"Istilah yang tepat adalah "perjalanan diizinkan meninggalkan/masuk dari/ke wilayah PSBB dengan syarat-syarat tertentu, jadi tidak menggunakan istilah "mudik" lagi sehingga masyarakat tidak mencari pembenaran lagi untuk melakukan kegiatan mudik," tutupnya.



[Ikuti Nusaperdana.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar